![]() |
ilustrasi refleksi halusinatif dari sini |
kalau lo seperti gue, bekerja di sektor non-profit, kemungkinan besar lo sering dengar kata "refleksi" sebagai substitusi kata "evaluasi".
atau kalau lo seperti gue, yang juga banyak terlibat dalam kegiatan gereja, lo mungkin juga akan sering dengar kata "refleksi". misalnya "yok refleksi dulu" setelah suatu kegiatan berlalu.
sesungguh-sungguhnya, gue senang dengan kata refleksi. sebagai penulis diari sejak kelas 3 SD, gue merasa cukup terbiasa untuk berproses bersama diri sendiri lewat tulisan. apapun yang gue rasakan, gue tulis. pakai kata-kata kasar, gak apa-apa, toh nanti yang baca gue-gue sendiri juga (ya paling sama keluarga gue lah yang suka ngintip-ngintip itu).
tapi sekarang gue jadi keganggu sama penyederhanaan kata "refleksi". semacam mengganti kata pacar sama "HTS" atau "FWB" atau "KJDA", seolah evaluasi, penilaian, pengujian, dan lain sebagainya itu mau diperhalus jadi "refleksi". Tai. Kucing.
menurut gue, refleksi itu esensinya berbeda sama evaluasi. di mana-mana orang kalau menjalani evaluasi, akan berusaha untuk mencapai hasil terbaik. sebanyak mungkin menjawab dengan benar. sebisa-bisanya menghindari kesalahan.
beda banget sama refleksi.
berdasarkan asal katanya aja, reflect, itu artinya ada yang dipantulkan sehingga kita bisa mengetahui umpan baliknya. gue membayangkan agar sesuatu itu bisa memantul, tentu perlu kesediaan untuk bercermin. kalau tidak di hadapan cermin (atau benda pemantul lainnya), mana bisa kita menemukan hasil umpan balik pantulan.
begitu juga dengan refleksi. kalau kita tidak bersedia dihadapkan dengan cermin, tidak mau melihat diri sendiri yang ada di cermin, bagaimana dapat umpan balik, bagaimana terjadi refleksi yang sesungguhnya?
gue sering menemukan orang pakai istilah refleksi untuk menggantikan evaluasi, sehingga apa yang ada di kepala orang lain ya berusaha untuk tidak salah. buat gue, refleksi tidak akan terjadi kalau kita tidak menerima hal benar dan hal salah yang kita lakukan secara sekaligus.
apa yang sudah kita lakukan dengan benar, apa yang sudah kita lakukan dengan salah, disajikan saja apa adanya. evaluasi dulu baru kemudian direfleksikan:
kok bisa ya gue benar melakukannya?
kok bisa ya gue salah melakukannya?
apa yang bikin gue benar waktu itu?
apa yang bikin gue salah?
kenapa ya waktu itu gue begitu?
kalau sudah baru deh ada percakapan yang terbuka, umpan balik yang lebih otentik dan berdaya transformatif karena refleksi sudah terjadi. kemampuan refleksi itu kemampuan untuk terbuka atas masukan, umpan balik, dari luar diri kita sendiri.
makanya kalau cuman ganti istilah dari evaluasi jadi refleksi, biar enggak tercipta kesan horor, biar orang lebih mau apa adanya (padahal penggantian istilah itu kan bentuk enggak apa adanya ya), gue cuman bisa bilang TAI KUCING aja deh.
ngeselin lo, manipulatif.
Komentar
Posting Komentar
Hai, terima kasih ya sudah mampir untuk membaca. Silakan tinggalkan jejak, barangkali ada jejakmu bermanfaat menyapa orang lain, minimal Admin blog ini.