Langsung ke konten utama

Kenapa Bikin Diari, Lagi

gue belajar kegalauan itu bisa diolah menjadi lebih aesthetic. enggak cuman kamar kosan aja yang perlu dibuat cakep. diari juga enggak ada salahnya kalau cakep dan berfaedah.


sejak 2005 gue udah nulis blog di Blogger. sampai sekarang masih ada blog gue, tapi nggak lagi publik karena gue sekarang udah bisa membedakan mana tulisan konsumsi publik dan mana yang privat. di blog ini gue akan bikin tulisan buat publik, ya campur lah antara yang sembarang gue tulis kayak gini sama yang sedikit lebih serius. meski gue punya protes tersendiri untuk ini: kenapa selalu ada pembedaan antara publik dan privat. but well, kita omongin itu di kesempatan lain ya.


gue pernah belajar psikologi dan belajar isu gender secara formal. investasi lumayan besar untuk gue bisa mendapatkan pengetahuan itu. sekarang tahu-tahu dua topik itu jadi kekinian banget. semua netijen kayak ngomongin mental health sama feminisme. tapi entah kenapa gue merasa apa yang jadi keresahan gue tetap enggak kebahas.


makanya gue tumpah-tumpahin aja lah semuanya di sini. ada yang baca, syukur, enggak ada yang baca juga enggak apa-apa. minimal gue enggak kalau mati enggak penasaran karena tidak melakukan apa yang mau gue lakukan karena hati gue bilang demikian: SUARAKAN!


semoga gue bisa konsisten ya menulis. seminggu sekali minimal ada sesuatu yang gue curahkan di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beneran Ga Sih Aku Ga Mau Punya Anak

ilustrasi dari sini ketika gagasan childfree menjadi tren di masa pandemi (sekitar tahun 2021), gue yang sebelumnya beranggapan enggak pengen punya anak karena alasan medis, seolah mendapat penguatan . kurang lebih sampai dengan tahun ke-3 ini keyakinan gue untuk tidak ingin punya anak, rasanya goyah . bukan goyah seperti gedung pencakar langit diterjang gempa kekuatan 9 SR, tapi lebih ke goyah kayak orang yang limbung setelah minum satu dua slot vodka. beberapa kejadian di tahun ini sebenarnya yang membuat bayang-bayang punya anak menyelinap hangat di benak gue. gue ketemu lagi sama salah satu teman SMA gue yang berhasil membuat gue melihat betapa indah dan bahagianya ketika kehadiran anak memberikan senyuman untuk semua orang (diri sendiri, suami, nenek, kakek). gue terlanjur kelamaan berjumpa dengan anak-anak kerabat gue yang 'bermasalah'. ada yang sampai usia 3 tahun belum lancar bicara, ada yang kalau menghadapi makanan kayak menghadapi sakratul maut, dan ada juga yang jar...

Refleksi yang Tai Kucing

  ilustrasi refleksi halusinatif dari sini kalau lo seperti gue, bekerja di sektor non-profit, kemungkinan besar lo sering dengar kata "refleksi" sebagai substitusi kata "evaluasi". atau kalau lo seperti gue, yang juga banyak terlibat dalam kegiatan gereja, lo mungkin juga akan sering dengar kata "refleksi". misalnya "yok refleksi dulu" setelah suatu kegiatan berlalu. sesungguh-sungguhnya, gue senang dengan kata refleksi. sebagai penulis diari sejak kelas 3 SD, gue merasa cukup terbiasa untuk berproses bersama diri sendiri lewat tulisan. apapun yang gue rasakan, gue tulis. pakai kata-kata kasar, gak apa-apa, toh nanti yang baca gue-gue sendiri juga (ya paling sama keluarga gue lah yang suka ngintip-ngintip itu). tapi sekarang gue jadi keganggu sama penyederhanaan kata "refleksi". semacam mengganti kata pacar sama "HTS" atau "FWB" atau "KJDA", seolah evaluasi, penilaian, pengujian, dan lain sebagainya itu ma...